Dongeng : Ketika Bulan, Bintang, Pelangi, dan Awan bertemu
Pada suatu hari, seorang anak perempuan terlihat tengah duduk bersila di taman dengan seekor kucing di sampingnya. Aneh. Disaat anak-anak lain bergembira, bermain dengan ceria, anak perempuan tadi justru terlihat murung.
"Mentari, kenapa ayah dan ibu selalu sibuk? Mereka tidak sayang aku ya?"
"Meow"
Celotehnya kepada kucing ras persia berwarna hitam legam itu. Ya, warna bulunya hitam legam, tapi bocah itu menamainya Mentari. Setiap ditanya, alasannya karena meskipun kucing itu hitam legam, tapi kucing itu membuatnya terasa hangat.
"Aku bosan di rumah. Sendirian. Aku ingin punya teman. Tapi aku hanya punya kamu, Mentari."
Tak terasa, air matanya jatuh dari kantung matanya yang bulat itu. Di sisi lain, beberapa anak-anak tengah bermain bersama dengan keceriaan mereka. Salah satu anak tersebut tanpa sengaja melihat kearah bocah perempuan tadi. Matanya menyipit, seakan menajamkan pengelihatannya.
"Bintang?! Kau lagi lihat apa, sih?!"
Tegur bocah perempuan yang tengah bermain bersamanya. Bintang seketika terkesiap. "Itu...."
Seraya menoleh kearah bocah perempuan yang sendirian.
"Kasihan dia tidak punya teman, Pelangi. Kalau aku ajak bergabung, boleh?" Tanyanya kepada Pelangi.
"Boleh, lah. Apalagi dia cantik sepertiku. Bukannya makin ramai makin bagus? Sudah sana cepat, ajak dia."
"Men--"
"Hai! Sedang apa kamu sendirian?"
Tegur Bintang memotong ucapan bocah itu. Tangan bocah itu terulur untuk mengangkat kucingnya kepangkuannya. Rupanya ia merasa ketakutan. Mungkin karena ia belum pernah punya teman sebelumnya.
"Siapa kamu?"
"Kenalkan, aku Bintang. Siapa namamu?"
"Emh. Na-namaku--"
"Bulan? Bibi cari kemana-mana, ternyata disini. Ayo pulang, nak. Sudah sore"
Suara wanita menginterupsi perkenalan kedua bocah itu. Bulan menoleh ke arah Bibi Anne, pengasuhnya sedari kecil.
"Bibi? Aku ga mau pulang. Aku mau main disini sama Mentari, sama Bintang temanku."
"Oh, Bulan baru berkenalan yah? Hai bintang? Aku Bibi Anne. Terimakasih ya, mau menemani Bulan. Tapi, tak apa kan? Lain kali saja mainnya. Sudah sore, Bulan harus pulang."
Tanya Bibi Anne kepada Bintang.
"Tidak apa-apa Bibi. Besok kan masih bisa bermain lagi. Ya, kan Bulan?"
Senyum bocah itu mengembang tulus. Yang mau tak mau menyentuh hati Bulan.
"Benarkah? Aku boleh bermain lagi besok?"
Entah pada siapa Bulan bertanya, karena keduanya menjawab. Bintang menganggukkan kepalanya diiringi senyumannya yang makin mengembang. Lalu Bibi Anne,
"Tentu, sayang. Besok sore Bibi Anne antar ke taman ini lagi. Jangan kabur seperti sekarang."
Ucapan Bibi Anne membuat Bulan malu. Mukanya menjadi memerah.
"Bintang, aku pulang ya? Sampai jumpa lagi besok."
Bintang hanya mengangguk, dan melambaikan lima jari tangan kanannya karena Bulan sudah berjalan meninggalkannya.
"Bintang! Kok malah pulang dianya? Kenapa? Ga mau main yah?"
Pelangi berlari menuju Bintang.
"Bukan, Ela. Sudah sore kata Bibinya. Tapi besok dia akan datang untuk bermain. Ayo kita juga pulang! Ayah-Ibu kita pasti sudah menunggu di rumah."
"Bibi, apa benar aku boleh bermain lagi besok? Hari ini saja aku harus kabur dulu, baru bisa keluar rumah."
Bulan yang tengah duduk didepan Bibi Anne yang tengah menyisir rambutnya terus menerus bertanya masalah itu.
"Apa masih boleh bermain, besok?"
Yang menimbulkan kekehan lolos dari mulut Bibi Anne.
"Boleh, sayang. Tapi Bulan harus janji. Jangan kabur, bilang sama Bibi kalau mau bermain diluar, ya?"
"Asyikkkk!!! Terimakasih Bibi. Bibi memang paling baik selain Mentari. Hihi" Ucapnya ceria.
Anne tahu, bocah ini kesepian. Orang tuanya sibuk sekali. Sedangkan Bulan yang baru berumur 5 tahun pasti membutuhkan perhatiannya.
"Ayo cepat Bibi! Pasti Bintang sudah menungguku!"
Ditariknya tangan Anne dengan tidak sabar. Setengah berlari, Anne selalu menasehai agar berhati-hati yang tentu saja tidak didengar oleh bocah itu karena saking semangatnya.
"Bintaaaangggg."
Si empunya namapun menoleh.
"Hai Bulan."
Terlihat Bintang melambaikan tangannya kepada Bulan yang masih saja berlari.
"Hus hus hus" Nafas Bulan terdengar tidak teratur sebab aktivitas mereka tadi yang begitu bersemangat.
"Lagian kamu lari sih. Jadi capek kan?"
Timpal Pelangi yang sedari tadi bingung melihat Bulan yang berlari menghampirinya dan Bintang. Bulan hanya menjawab dengan senyumnya, menahan malu.
"Ya sudah. Bibi tunggu di sana ya, Bulan."
Tempat berteduh yang terbuat dari kayu dan pelepah tersusun sebagai atapnya yang terlihat asri.
"Bulan, kenalin. Ini Pelangi, temanku juga. Yang duduk disitu namanya Awan." Menunjuk pada bocah lelaki yang tengah bersila, memainkan skop dan embernya.
"Hai, aku Bulan."Sapanya pelan.
"Ayo main!!!" Ucap Pelangi semangat.
Dari jauh, Anne melihat kebahagiaan itu dengan seulas senyumnya. Senyum yang membuatnya juga merasakan bahagia seperti Bulan. Ia bahagia melihat Bulan seceria itu. Mendapat teman, bermain bersama dengan anak-anak seusianya.
"Bulan, coba lihat! Kastilku sudah jadi. Mana punyamu? Kok kamu malah membantu Bintang dan Awan?"
Pelangi menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya agar pasir yang menempel luruh dari tangannya.
"Aku ga mau bikin rumahku. Disana sepi."Ucap Bulan polos.
"Rumahmu?" Ucap Bintang, Pelangi dan Awan bersamaan.
"Iya. Itu rumahku. Rumahku seperti itu. Besar, tinggi, tapi aku ga suka. Sepi. Aku ga punya teman."
Tunjuk Bulan dengan ekor matanya ke arah Kastil yang dibangun Pelangi.
"Kan sekarang sudah ada kita, Lan. Jadi tidak akan sepi." Ucap Bintang menghibur.
Diantara ketiganya, memang Bintang lah yang paling dewasa. Pelangi yang paling ceria, juga bawel dan juga paling cantik, karena ia anak perempuan sendiri diantara mereka. Sementara, Awan cenderung pendiam. Maka dari itu, Awan sedari tadi tidak banyak berbicara.
"Kalian mau main ke rumahku?"Tanya Bulan. "Kalau boleh dengan ayah-ibu mu, aku mau, Lan." Ucap Pelangi menimpali.
"Tenang saja, Ela. Ayah-Ibuku tidak mungkin pulang. Aku saja jarang melihat mereka."
"Kem---"
"Ayo main ke rumah Bulan, besok!" Ucap Awan, akhirnya.
Bulan amat senang mendengar teman-temannya mau bermain ke rumahnya. Dengan riang ia menjelaskan dimana letak rumahnya, yang diangguki kepala ketiganya. "Aku tunggu ya, besok."
Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.
Di kamarnya, Bulan tak henti-hentinya menyunggingkan senyumnya. Mentari yang tengah merebah di kasurnya pun dihadiahi elusan-elusan tangan mungil nan hangat itu. "Besok teman-temanku akan ke sini, Mentari. Kau harus bersikap baik ya? Jangan mencakar, jangan mengeong terlalu keras nanti mereka takut. Kalo kamu nakal, nanti aku nangis loh, Mentari."
Keesokan harinya.. Terdengar suara berisik khas anak-anak di teras rumah. Kemudian tak lama, suara bel berbunyi.
"Ayo, Bibi. Itu pasti mereka."
Bulan langsung lompat dari sofa depan TV tempat sedari tadi ia menunggu temannya.
"Bulan? Rumahmu besar sekali. Persis seperti kastil yang kemarin aku buat. Pantas saja kamu bilang kastil itu rumahmu."
Pelangi tidak bisa menahan kegembiraannya melihat rumah Bulan.
Mereka semua masuk ke sebuah ruangan khusus bermain. Tempat Bulan biasanya bermain. Semua mainan ada di dalam sana. Mulai dari mainan tradisional, hingga modern keluaran terbaru yang mahal-mahal. Karena sudah terjamin keamanannya, para pengasuh tidak menunggu di dalam. Hanya tersisa anak-anak.
"Ayah-Ibumu baik sekali, Bulan. Aku saja tidak punya mainan sebanyak ini."
Seloroh Awan yang mengagumi mainan Bulan. "Iya, aku saja yang lelaki, tidak punya robot atau mobil-mobilan sekeren ini. Wahhhh hebat sekali ayahmu."
Timpal Bintang yang kini tengah memainkan mobil-mobilan beremot itu.
"Huu. Aku ga mau punya mainan banyak, tapi orangtuaku tidak bisa menamaniku. Aku suka mainan yang banyak, tapi aku lebih suka ada orangtuaku."
Terdengar kesedihan didalam nada suara Bulan. Matanya kini mulai memerah, yang segera ia tundukkan wajahnya, khawatir temannya mengetahuinya.
'Ya Tuhan, tega sekali kami menyakiti buah hati kami sendiri. Maafkan Ibu, Bulan.' Ibunya ternyata mendengar percakapan anak-anak itu dengan seksama. Merasa hatinya ikut terluka mendengar penuturan anaknya sendiri.
"Sudah bu, kita akan menebusnya dihari yang mendatang."
Suaminya menepuk pundaknya untuk menenangi istrinya.
Ketika hari menjelang petang, para pengasuh memutuskan untuk pulang. Bulan rupanya tertidur di kamar bermain. Mungkin ia terlalu lelah. Namun, wajahnya kali ini tersenyum. Tanda bahwa ia baru saja melewati harinya dengan penuh kesenangan.
Pagi harinya, kebetulan adalah hari Minggu, Bulan sudah rapi hendak sarapan. Tapi, ia bilang hanya mau sarapan kalau makanannya dibawa ke taman bermain.
"Pokoknya aku ga mau makan, Bi. Maunya makannya di taman!"
Ambeknya pada Anne.
"Tapi, Bulan--"
Belum sempat melanjutkan kata-katanya, pundak Anne ditepuk dari belakang.
"Biar sama saya aja, Ann. Kebetulan saya dan ayahnya tidak kemana-mana."
"Baik, Bu."
Anak itu tidak mendengar, karena kekesalan yang masih menyelimutinya. Hingga kepalanya diusap dengan lembut.
"Aku kan sudah--"
"Kalau sama Ibu makannya, mau? Kita makan di taman. Sama Ayah juga." Potong Ibunya.
"Ayah, Ibu? Beneran boleh makan di taman? Sama Ayah, sama Ibu?"
"Iya, My Moon yuk." Ajak ayahnya.
Bulan sudah berpindah kegendongan Ayahnya yang hangat. Senyumnya tidak bisa ia sembunyikan. Untuk pertama kalinya, sejak sekian lama, orangtuanya menemaninya bermain.
"Ayah sama Ibu janji sayang, akan nemenin Bulan main sama temen-temen bulan. Maafin Ayah-Ibu ya nak"
Bulan mengangguk, tak tahu lagi harus apa mendapat kebahagiaan yang menurutnya tak terhitung ini.
"Terimakasih Ayah, Ibu. Bulan sayang kalian."
Kemudian dicium kedua pipj orangtuanya.
Pagi itu, Bulan kembali bertemu teman-temannya. Ia bercerita tentang orangtuanya yang sudah 'kembali'. Keceriaannya bertambah dengan orangtuanya yang menemaninya. Ia terus berceloteh betapa bahagianya ia hari ini. Dan sudah semestinya anak-anak penuh dengan keceriaan dari dunianya bukan? Mulai sekarang, Bulan tidak akan merasakan lagi kesepian bukan karena ada Bintang, Awan, Pelangi, Mentari juga Anne lagi. Tapi ditambah juga akan ada orangtuanya yang menemaninya. Dan, seiring Bulan menemukan kebahagiaannya yang lengkap, maka inilah akhirnya. Bukan akhir dari kehidupan Bulan, namun akhir dari kesunyiannya. Dan merekapun hidup bahagia selamanya.
Komentar
Posting Komentar