Ironi
Cerpen ini dibuat untuk memenuhi tugas Writing3. Semua karakter dalam cerita, beserta kejadiannya adalah fiktif belaka, rekaan penulis.
Aku dikagetkan beberapa orang yang mengerubungiku, begitu aku keluar dari sebuah Bank Nasional. Senin pukul 10 pagi, begitu aku keluar dari bank tersebut, dengan menenteng koper cokelatku yang merisikan uang deposit ayahku.
"Berhenti!" Ucap salah satu pria bertampang dan berpakaian preman.
Ah, ya. Mereka berjumlah 5 orang. Dua orang di depanku, sisanya menyebar di kanan, kiri serta belakangku. Bodyguard yang Ayah sewa untuk menjagaku mencoba melawan, namun nihil. Ya, para pria berpakaian preman itu menunjukan sesuatu yang membuat aku dan juga bodyguardku harus diam, serta mengikutinya.
"Kami dari petugas KPK, bertugas untuk menangkap anda, sesuai dengan surat penangkapan yg kami bawa."
Aku kaget. Apa salahku, sehingga ditangkap oleh KPK? Aku bukan koruptor, ataupun politisi. Aku hanya pebisnis fashion biasa.
"Apa salah saya?" aku coba membela diri.
"Anda jelaskan dikantor kami saja. Mohon maaf, koper serta mobil yang anda kendarai harus kami bawa juga." Jelas nya.
Aku malu sekali rasanya. Suasana di Bank itu jadi ramai oleh lautan pengunjung.
Dan disinilah aku. Diruang penyelidikan. Penyelidik menanyakan beberapa pertanyaan seputar kehidupanku, keluargaku. Mereka bilang, ini untuk pengusutan aliran dana parpol yang diduga masuk ke dalam rekening Ayahku. Karena ayahku telah meninggal, jadilah aku yang menggantikan.
Mereka bilang, mereka mencoba memanggilku dengan surat panggilan selama dua kali berturut-turun, namun tidak ku indahi.
Tentu saja aku mengurungkan diri untuk datang. Toh aku merasa tidak salah apa-apa.
"Begini, kami mohon maaf atas tindakan kami yang harus menjemput paksa anda, bu Sintya. Tapi seperti yang ibu tau, kami berupaya mengirimkan surat panggilan untuk ibu sebanyak dua kali, tapi ibu tidak menggubrisnya. Maka sesuai prosedur, kami berhak menjemput paksa pada saat pemanggilan ketiga seharusnya berlangsung." Jelas pria yang kira-kira beumur 60 tahun ini.
"Saya kira, bukan saya yang seharusnya mendatangi panggilan tersebut. Ayah saya, yang bapak maksud di surat panggilan itu sudah meninggal 5 bulan lalu. Lantas, apa hubungannya dengan saya?" Ucapku setengah kesal.
Lalu berjalanlah pertanyaan-pertanyaan berikutnya, yang tak kalah membuat aku tercengang. Ayahku yang memang salah seorang petinggi partai politik. Almarhum diduga menggelembungkan dana kampanye pemilihan Gubernur Jawa Barat periode 2008 lalu. Meskipun masih berupa dugaan, posisi ayahku yang menduduki kursi bendahara partai, membuatnya terjerat. Sebab, semua uang keluar masuk pasti melalui ayahku.
Penyidik yang menggiringku ke sini tidak bermaksud menangkapku. Mereka hanya ingin mendapatkan kejelasan, alur bagaimana ayahku menerima semua kekayaannya. Ibuku juga seharusnya dipanggil, namun karena ibuku sedang tidak sehat, jadi hanya aku, anak semata wayang bapak Diro Abimana. Sintya Abimana, yang dimintai keterangan.
Aku sama sekali tidak curiga dari mana ayahku mendapatkan kekayaan yang berlimpah beberapa tahun ini. Karena yang aku tau, ayahku memiliki bisnis properti. Jadi wajar saja bila ayah memiliki kekayaan sebesar ini.
Aku tau konsekuensinya jika kemudian mendiang ayahku dinyatakan murni terlibat. Semua harta yang diduga hasil korupsi akan ditarik oleh KPK.
"Ayah? Apa tidak terlalu berlebihan, jika ayah membelikanku minicooper baru? Aku rasa mobilku yg lama masih sangat bagus." Ucapku pada ayah beberapa tahun silam.
"Itung-itung hadiah untuk kelulusan anak ayah yang semata wayang, tidak apa bukan? Sudah, terima saja. Toh uang segitu juga tidak akan bikin ayah jatuh miskin!" Jawab ayahku tegas.
Aku ingat betul, ketika itu aku yg baru menyelesaikan studi ku dihadiahi mobil baru yang harganya selangit. Ibuku saja geleng-geleng kepala melihat sikap ayahku. Bukan cuma itu. Ibu juga bilang, kalau Ibu baru saja dihadiahi sebidang tanah di daerah Sentul. Untuk investasi, kata ayah. Aku pernah beberapa kali menanyakan asal-usul uang ayah yang digunakan untuk membeli semua hadiah itu pada ibu.
"Ibu tidak tau, belakangan ini ayahmu memang sibuk sekali. Mungkin dia baru menang tender, makanya bagi2 hadiah." Ibuku menjawab pertanyaanku dengan enteng, seraya senyum yang tak pernah pudar.
"Bu, apa ibu tidak curiga? Mungkin tidak, kalau ayah korupsi seperti yang sedang dibicarakan hal layak ramai mengenai pejabat tinggi lainnya?"
"Huss! Kamu ini ngomongnya! Sudah, jangan dipikirkan. Tugasmu sekarang hanya perlu mengembangkan ilmu yang kamu dapat. Bukan mikir yang aneh-aneh!" Ceramah ibuku kala itu.
Aku malu, mau ditaruh mana kehormatan keluargaku? Ibuku terutama. Sebulan lalu, ada saksi ahli, dan saksi-saksi yang mampu membuka tabir gelap ayahku. Ayahku memang menggelapkan dana kampanye pilkada sialan itu! Dan karena ayahku sudah berpulang, ayah tidak harus merasakan tinggal di jeruji besi bertauun-tahun.
Sebagai gantinya, semua aset yang ayahku punya, baik atas kepemilikan ibuku, aku, apalagi ayahku, di sita oleh pemerintah.
Ibuku yang menderita penyakit jantung, tak kuat menahan sesak atas fakta yang terungkap. Yang kami punya sekarang hanyalah dua buah koper yang tengah kami bawa entah menuju kemana.
Sungguh tak tega melihat ibu yang biasanta cuma dirumah, kini harus berjalan jauh mencari tempat teduh.
"Bu, doakan Sintya agar bisa membalikkan keadaan lagi. Tidak perlu semewah dulu, yang penting kita bisa berkecukupan. Yang penting ibu nyaman. Doakan Sintya dapat pekerjaan yang gajinya bisa dipakai untuk cicil sewa kontrakan nanti ya bu?"
"Maafin ibu ya, harusnya orgtuamu yang bertanggung jawab atas nasipmu. Ibu akan mendoakanmu selalu, nak." Seraya menepuk pelan bahuku.
"Mungkin sekarang kita cuma bisa tidur di kontrakan sepetak ini bu, tapi Sintya janji akan berusaha buat ibu. Demi ibu, satu-satunya yang Sintya punya didekat Sintya sekarang. Ibu tidur ya, besok pagi Sintya akan cari pekerjaan."
》TAMAT《
Komentar
Posting Komentar